Friday, September 21, 2012

Merah Muda Menua


“Happy Birthday Queenta…!”
“Abang! Berisik! Aku semalem baru abis diguyur sama anak-anak ya, dingin. Menggigil nih. Iya makasi deh. Udah sana!” usir Queenta.
“Kasar amat dek! Buka dulu matanya. Liat dong kejutan buatan abang. Pasti terpesona deh kamunya!”
“Sebodo amat! Aku …….hoam…. menggigil.”
“Tiup lilin juga gak mau ta? Jiaaah… ya sudah Bolu Ketan buatan mak’e favoritmu ini aku aja yang habisin! Asik-asik! Dadaaaah Tata!”, goda Rexy.
“Eeeehhhh…mau mau! MAAAUUUU! Mana sini sini kesiniin!,”, seketika Queenta meniup lilin angka 17 tahunnya dan menjilati kuenya. Tanpa ia sadari, Rexy mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya. Sekotak sepatu Converse warna merah muda.
“Astaga…. Huwaaa! Abang baik banget! Terima kasih! Waaah pink! Warna kesukaanku. Size 4,5. Ini kan susah nyarinya bang. Kok dapet sih?”
“Kakimu kan ukuran bocah, abang nyarinya di…..ada deh! Itu mah rahasia! Tapi gak dibungkus, ehehehe maaf ya. Happy birthday adekku!” Rexy mengecup kening Tata dengan lembut, sang empunya kening malah sibuk meneliti kuenya, mencari cara terbaik melahapnya.


Ayah Rexy dan Queenta bersahabat sejak mereka masih bujangan. Hingga akhirnya keduanya memutuskan untuk berumah tangga dan membangun istana masing-masing pun, mereka tetap sepakat untuk menjadi tetangga. Hingga lahirlah Rexy terlebih dahulu dan kemudian disusul Queenta tiga tahun kemudian.


‘Selamat ulang tahun Tata sayang! Bangga aku sekarang adik manisku sudah dewasa. Sudah di penghujung
remaja! Happy 19th birthday dear Queenta! Smoochy smoochy!’ sebuah pesan masuk ke hp Queenta.
‘Sembarangan si kakak. Aku kan baru 19 tahun. Iya sih. Belum juga kepala 2. Ehehe. Tapi mana kado untukku?’, ketik Tata dengan cepat.
‘Nanti abang teraktir deh. Bakso mang Ojo! Ok!?’ balas Rexy agak lama. Queenta tak lagi membalas pesan itu. Ia tahu akan kesibukan Rexy membantu ayahnya mengurusi usaha gallery lukisan di Kemang Timur.

Queenta bosan dan jenuh, tak tahu harus berbuat apa. Hingga kemudian, ia teringat kebiasaannya semasa kecil…..
“Tata, ngapain disini? Rexynya gak ada sayang. Makan aja yuk sama tante. Tante lagi masak Ayam Penyet loh… Enak deh!”
“Eh tante…. Tata kaget. Kok tante ada disini?”
“Adanya tante yang harusnya bertanya. Ini kan kamar anak tante. Kamu juga. Sudah gadis, masih aja manjat-manjat.”
“Gak manjat kok tante. Cuma ‘menyeberang’. Mihihi!”, yang Tata maksud dengan ‘menyeberang’ adalah memasuki kamar Rexy dengan melewati pagar besi setinggi pinggang Tata di balkon kamar keduanya dan masuk melalui jendela sebesar pintu di rumah Rexy. Kamar keduanya memang berhadapan dan jarak balkon keduanya hanya 60 cm. Pembangunan seperti ini tidak pernah direncanakan oleh orang tua mereka, terjadi secara kebetulan.

Aroma Ayam Penyet buatan tante Anggi menyeruak memasuki ruang kamar Rexy. Meski begitu, aroma parfum Rexy tetap samar-samar terasa. Tata memandangi kamar itu. Dominasi merah. Bola basket di lantai kamar, seperangkat drum di pojok ruangan dan tumpukan novel karya Pramoedya Ananta Toer memenuhi ruang kamar ini. Rapi. Sudah tentu itu karena tante Anggi yang menatanya.

Tata merasa kesepian. Ia ingat bagaimana dulu ia dan Rexy selalu bermain bersama. Kini Tata sudah menjadi mahasiswi semester 3 fakultas hukum universitas swasta unggulan, sedangkan Rexy baru diwisuda setahun lalu. Tentu kesibukan mereka berbeda. Sulit untuk bermain bersama seperti saat keduanya masih bocah.

Setelah habis melahap masakan tante Anggi, Queenta berjalan lemas ke kamar Rexy, siap untuk kembali menuju kamarnya. Namun langkahnya malah tertahan di kasur empuk milik Rexy yang nampak menggoda baginya yang kadung kekenyangan.

Queenta berbaring, memandangi langit-langit kamar Rexy dan ia menyadari ada sesuatu disana. Daritadi ia tak memperhatikan. Ia pandangi lekat-lekat benda itu. Sebuah foto. Gambar seorang wanita muda, kira-kira seusia dengan Rexy. Tata bertanya-tanya siapa wanita itu. Namun rasa kenyang berhasil membuat matanya terpejam dan tertidur lelap di kamar Rexy.

“Tidur sembarangan di kamar laki-laki! Kamu ini perempuan macam apa?”, setengah mati Tata membuka matanya, berusaha melihat siapa yang berani membentaknya.
“Eh… abang. Baru pulang? Sini!”, Rexy berbaring disampingnya.
“Ih..gila ya! Dulu ini kasur jadi tempat ompolanku.”
“Sekarang juga masih! Buahaha!”
“Sembarangan kamu bang! Ahahaha. Gak kerasa sekarang kita udah tua. Aku udah mau kepala dua! Eia, kayaknya tadi sebelum tidur aku liat ada apa gitu deh di langit-langit. Itu apaan sih bang?”
“Ah perasaanmu aja dek.”
“Serius. Aku liat sesuatu.”
“Ah masa….,” goda Rexy sambil menggelitiknya. Tata malah cekikikan geli meminta ampun dan lupa dengan pertanyaan yang sempat menggelitiknya tadi.

Mereka jatuh lelah di atas kasur Rexy. Rexy memandangi Tata dengan tatapan ‘mengemongi’ sembari membelai lembut keningnya.
“Dek…kamu sampai kapan ngintilin aku terus? Kamu udah gadis. Keluar sana! Bergaul! Jangan jadi kupu-kupu gitu ah, kuliah-pulang-kuliah-pulang! Cari pacar! Jalan! Nonton! Dikasi cokelat, bunga, surprise, couple t-shirt! Cari pacar harus yang bener, biar dia bisa jagain kamu!,” nasihat Rexy lembut.
“Pokoknya nanti kalau aku punya pacar, aku mau bawa ke abang dulu! Kalo dia tipe brengsek, langsung hajar aja bang! Ahahaha… tapi itu nanti. Masih lama!”
“Kok gitu?”
“Untuk apa aku cari pacar kalau cuma dijadiin bogdyguard & driver! Ada kamu ini bang! Gak pamrih harus dismsin, teleponin, chatting, webcam! Iya kan? Abang masih bakal jagain aku kan?”, Tata menatap mata abangnya itu penuh harap. Rexy hanya tersenyum penuh arti.


Rangkaian bunga memenuhi pekarangan rumah keluarga Galih Saputro dan Brotoseno Widjojono.  Happy Wedding! Rexy-Queenta!’, pesan ini terpampang jelas di setiap sudut. Warna putih mendominasi dekorasi. Kursi, meja bulat, taplak, bahkan karpet yang membentang pun berwarna putih bersih, tak merah seperti pada umumnya.

Tamu-tamu undangan tampak sumringah, cekikikan, terbahak, bahkan menangis bahagia. Semua senang. Lilin-lilih putih, rangkaian bunga lili, kain putih, wangi melati dan mawar putih menjadi teman bisu para tamu. Ketenangan, keramahan dan kesucian menyeruak tatkala tamu menginjakkan langkah pertama di atas rerumputan rapi yang dilapisi karpet putih di salah satu sisinya, tepatnya yang menuju mimbar. Sang pendeta pun sudah menunggu dengan senyum damainya. Para tamu seketika memenuhi kursi yang tertata menghadap mimbar.

Pasangan Rexy-Queenta turun dari mobil Mercedes Benz sport putih milik Rexy yang sudah dihias beberapa buket bunga mawar putih. Keduanya tersenyum bahagia, bergandengan tangan dengan mesra menuju mimbar.  Para tamu undangan tertegun menatap keduanya, pasangan sempurna, si tampan dan si cantik. Sangat serasi dan membikin iri.

Keduanya tiba di mimbar setelah dalam beberapa langkahnya para tamu berdiri menghormati dan tak henti berdecak kagum memandangi. Setelah kebaktian pemberkatan selesai, pendeta mempersilahkan Rexy untuk mengecup kening istrinya, namun Rexy malah berbuat lebih dan mencium mesra bibir Queenta yang telah resmi menjadi istrinya itu.

“Aaaaaaaaaaa!” kompak bibir-bibir para undangan melafalakan huruf pertama dalam deretan abjad itu dengan setengah berteriak. Ada rasa haru, bahagia dan iri di dalamnya.
“Tahan! Satu, dua…” Jepret! Sang tukang foto tak mau ketinggalan mengabadikan momen ini.
“Eh sebentar! Ini kenapa high heels si mbaknya gak keliatan ya? Saya takut diprotes nih!”, protes pemuda yang berprofesi sebagai fotografer lepasan itu.
“Eh… Oia! Ulang mas. Rexy sayang, kamu gendong aku aja ya. Biar sepatuku keliatan.” Queenta langsung ke punggung Rexy dan melompat ke sana. Alhasil, Rexy membopong istrinya atau yang lazim disebut piggyback. Ia hanya pasrah dan bahagia, masih penasaran juga mengapa istri centilnya ini bisa salah memilih alas kaki padahal hari ini sudah Queenta rancang secara mendetail dari jauh-jauh hari.
“Rexy! Say cheese honey!”, teriak Queenta sambil menghadap kamera sementara kamera menjepret justru ketika Rexy sedang memperhatikan alas kaki wanitanya itu.
“Ya Tuhan! Sepatu ini… Queenta! Gila kamu ya?”, mata Rexy melotot melihat sepatu Converse pink yang pernah ia hadiahkan kepada wanita itu, sudah sejak delapan tahun yang lalu. Sepatu itu nampak sedikit usang -namun bukan kotor- karena memang tak pernah dikenakan Queenta. Sepatu itu hanya sedikit menua dimakan usia.
“Gak ada yang salah kan? Ini memang mimpiku. Sejak kamu kasih sepatu itu, aku hanya menyimpannya. Tapi seiring waktu, warnanya memudar. Tapi yang penting bisa tetap nyaman dikenakan! Lagian ini kan kenang-kenangan!”, Queenta mengecup mesra pipi lelakinya.
“Gaun pengantian, acara pernikahan, sneakers Pink ngjreng! Damn! I love you so!”, bisik Rexy kemudian mengakhirinya dengan ciuman panjang.
Lagi-lagi pelafalan A panjang terdengar dari arah bangku para tamu undangan dan keluarga besar serta rekan-rekan mereka. Semuanya itu tak menganggu ciuman panjang Rexy dan Queenta, malah semakin dalam dan hangat. Sesekali mereka tersenyum dan melanjutkan ciumannya kembali.
“Woooi! Sudah sudah! Kami para jomblo dengan ini menyatakan…..SANGAT IRI!!!”, seru salah seorang sahabat Rexy dengan lantang dan diakhiri dengan tawa. Kedua pasangan menyadarinya. Queenta segera melemparkan sebuket mawar putihnya dan teman-temannya yang masih membujang berlarian berusaha menangkapnya.
Goodluck for all of girls out there who are still looking for their Prince(s) Charming!  This is my shoes story, happy ending forever and ever! The one who stay beside me since I was born gonna accompany me until I close my eyes for the last time. No drama, no stardust!  Bye-bye fairytale!’, batin Queenta menjerit bahagia. Kembali ia mencium suaminya itu, tak perduli dengan keadaan sekitar. Dunia hanya milik mereka berdua.


 “Ta…. Tata! Tataku sayang. Adek…. Yuhuuuu….. WOI BANGUN QUEENTA! Memalukan banget jadi cewek. Tidur sembarangan di kamar laki-laki, mengingau pula. Senyam-senyum sendiri. Hih! Cowok mana yang mau jadi pacarmu dek?”
“Hah? Apa?”, Tata mengelap liurnya di ujung bibir dengan tangannya.
“HAH? APA? BANG REXY! INI DIMANA? ITU TADI? AAAAAAARRRRGGHHHH!! SIAL! CUMA MIMPI!!!”, jerit Queenta frustasi.
“Lah kamu ileran disitu. Daritadi ngigo ‘iya sayang, iya sayang’. Hayo itu tadi mimpi apa? Abang curiga nih sama kamu! Udah punya pacar ya ternyata, aheeem! Cie cie!”, goda Rexy.
“SOK TAU!”, masih kesal Queenta dengan mimpi indahnya yang lagi-lagi hanya bunga tidur.
“Eh dek. Dengerin lagu karangan abang deh. Rencananya mau dibawain sama band abang. Begini liriknya :

Kita ini ibarat sepasang sepatu. Berjalan beringinan.
Melangkah bersama dalam satu irama.
Kita tetap satu, meski tak pernah bisa menyatu.
Meninggalkan kenangan, menapaki kehidupan.
Bentuk kita berbeda, meski nampak sama.
Aku menjadi tak berarti tanpamu, karena kita satu.
Jadilah kita satu. Sepasang sepatu. Aku kamu.”

“Huwaaaaaaaw… keren! Judulnya apa bang?”, puji Queenta tulus.
“Belum kepikiran dek. Ada saran?”, mimik Rexy berubah serius.
“Kisah sepatu. Gimana? Bahasa inggrisnya Shoes Story. Translate aja bang ke Bahasa Inggris. Biar lebih universal.”, seketika Queenta bangkit dari kasurnya, mimiknya sumringah.
“Ah boleh juga. Tapi aku gak mau diganti ah liriknya. Aku cinta rimanya. Lagipula nadanya belum ketemu, nanti dirembukin lagi bareng anak-anak .”
“Oh. Inspirasinya dari mana kak?”
“Hmmmm… jadi gini loh dek. Sebenernya abang mau ngungkapin sesuatu ke kamu. Jadi…mmm…aduh abang bingung gimana memulainya…..”
“Apa? To the point aja deh bang!”, tuntut Queenta. Ia sebenarnya juga berharap-harap cemas dengan jawaban yang akan Rexy berikan. Apakah dirinya yang dimaksud? Queenta sejak lama menyayangi Rexy, entah sebagai abang, atau bahkan lebih. Namun ia tidak pernah tahu nama apa yang paling pantas diberikan atas rasa berdebar, bahagia dan berharap yang ia rasakan tiap di dekat Rexy.
“Jadi gini loh dek… Sebenenya… Abang mau jujur sama kamu. Abang itu….hmmm…tapi janji ya jangan marah. Aduh kenapa jadi canggung gini sih! Ok! Tarik nafas, buang! Abangmu, Rexy Xavier Maheswara, jatuh cinta, sangat cinta lebih tepatnya pada seorang gadis. Ia adalah….”, setengah mati Rexy merangkai kata untuk bercerita.
Ting-tong! Bel rumah Rexy berdering sekali.
“REXY!!! LE! TOLE! LE! YUHUUU! VANESSA DATANG NIH LE! CANTIK BETUL DIA PARASNYA. INI YANG KAMU CERITAKAN KE BUNDA WAKTU ITU? INI TOH PACARMU!,”teriak tante Anggi dari lantai bawah.
Rexy menatap lekat wajah adek kesayangannya itu. Queenta balas memandang, lama.
I know. She is the one that you mean, isn’t she?”, jawab Queenta sembari menunduk, tak ingin Rexy melilhat air matanya yang memaksa ingin menetes keluar.
“Iyeees! Aku pengen ngenalin kamu ke dia dek. Ayo turun!”
“Duluan gih bang. Aku mau cuci muka. Gak enak kucel begini.”
“Ok! Jangan kelamaan ya!”, ceria Rexy.
‘Ahahahaa.. sepasang sepatu. Saling mengiringi, serasi, melengkapi. Tak pernah benar-benar bisa menyatu! Hahaha!’ ucap Queenta pada dirinya sendiri di depan cermin kamar mandi Rexy. Air mata membasahi pipinya. Ia terisak dalam diam, berusaha menghapus airmatanya, namun kunjung membanjiri wajahnya.
“Sebentar bang! Sabar dong! I’m coming…”, jawab Tata lirih pada Rexy yang memintanya untuk turun segera dan menyalami kekasihnya itu.

Samar-samar terdengar alunan lagu dari radio dari ruang tamu yang diputar tante Anggi. Pelan. Namun bagi Queenta makna lagu ini sungguh dalam, menusuk dan menghujam.


I refused to believe that it could be so.

There’s no way I’m in love with you.
I lied to myself that it’s just a petty jealousy.
That I must be feeling lonely, but I can’t hide it anymore.

We are not meant for each other.
And being friends is the best thing for us.
There isn’t single thing we have in common.
So I claimed there’s no way we can be lovers.
But I don’t want to make excuses anymore.

Why didn’t I know that it was you.
Why couldn’t I see it when it was right in front of me.
It was beside me all along.
But only now I can see is love.

I think I love you
But it must be so, cause I miss you.
Without you I can’t do anything.
And now you’re always on my mind.
So seeing this. It must be
I was unaware.
But now I can see that.
Your presence have delved deeply into my heart.


Inspirasi : [I Think I - Byul] -english version #30HariLagukuBercerita #ShoesStoryProject


ditulis @ochacia dalam http://lopipol.blogspot.com

No comments:

Post a Comment